" Mustafa Kamal Nasution"
Pendahuluan
Gnosisme adalah aliran mistisisme dalam Islam,
secara umum mistisisme dalam Islam dibagi menjadi dua aliran yaitu tasawuf sunni
(tasawuf dualistik) dan tasawuf falsafi (tasawuf monistik). Tasawuf sunni
dibagi dua yaitu tasawuf akhlaki dan tasawuf amali, disebut dengan tarekat
sedangkan tasawuf falsafi berupaya memadukan visi mistik dan visi rasional.[1]
Itulah Gnosis (misteri pengetahuan kerohanian)
sufi. Pengetahuan itu mengembangkan suatu ajaran husus tentang hubungan syariah
dan pa yang disebut hakikat (kebenaran batin). Banyak kaum sufi berpendapat,
bahwa pencari yang sampai pada kebenaran mistik, berada diluar syariah hukum keagamaan yang tidak lagi diperlukan, yang
dimaksudkannya hanya untuk orang banyak dan mereka yang baru masuk Islam.
Bahkan bagi mereka yang berpegang pada pandangan yang kurang ekstrim, hanya
melihat segi yang positif dalam agama itu, yaitu suatu pendidikan, tangga yang
dipakai dan kemudian dibuang. Bahkan sebagian lagi berpendirian bahwa hukum
tidak dapat dipergunakan pada berbagai hal.[2]
Pembahasan
Dalam catatan sejarah Islam masuk ke Indonesia
melalui beberapa jalur dan berbagai metode penyebaran, seperti melalui
perdagangan, pernikahan dan di tempuh dengan jalan damai, Islam di Indonesia
berkembang menjadi daerah-daerah kekuasaan atau kerajaan-kerajaan seperti Aceh,
Banten, yang dimotori oleh para wali yang umum di kenal adalah wali songo.
Kolonialisme penjajah yang begitu kuat, bala
tentara yang handal serta persenjataan yang kuat ditammbah strategi-strategi
adu domba cukup handal membuat bangsa semakin carut-marut.
Kesadaran akan penjajahan dan penindasan mulai
muncul ketika outra-putri bangsa menuntut ilmu ke luar Indonesia, ada yang
belajar kenegeri Belanda (Eropa) dan ada yang memperdalam ilmu agama ke Mekkah
(Saudi Arabiah). Tokoh-tokoh muda banyak yang terinspirasi, sebut saja Muhammad
Dahlan, KH. Hasyim Asy`ari dan banyak lagi tokoh-okoh di atas mereka dan
diantaranya sudah ada yang menjadi guru dan imam di masjidil Haram, ada
Abdurrauf al Banjari dan lain-lain.
Seperti dikatakan bahwa tokoh Islam Ahmad
Dahlan berhasil mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 1912 dan Hasyim Asy`ari
mendirikan NU pada 1926. Ini menunjukkan telah berubahnya cara pandang, pikir
serta strategi untuk memerdekakan bangsa. Muhammadiyah cukup berjasa membawa
perubahan. Disamping itu NU juga memandori angkat senjata terhadap penjajah
adalah perang suci. Peran pesantren sepak terjang para ulama dan kiyai cukup
signifikan.
Aliran gnosisme juga sangat berkembang bisa
dilihat dari lahirnya beberapa rumah-rumah persulukan seperti di Besilam
Langkat untuk wilayah Sumatera Utara juga andil besar terhadap perjungan Islam
dan perjuangan kemerdekaan di Sumatera Utara, sudah barang tentu juga pondok
pesantren adalah wadah penanaman nilai keagamaan, tauhid pada ummat Islam.
Berdirinya pesantren-pesantren tradisional di Jawa, sebagian di Sumatera dan
Aceh ada jamyah atau maknasahcukup memberi andil besar pemikiran pendidikan dan
keagamaan ummat Islam.
Pendidikan Islam tradisional diakui cukup
besar menanamkan hanya pada nilai agama dan melupakan nilai sain, bahkan
mempelajari ilmu dunia, atau ilmu teknologi dianggap tidak penting. Karena yang
membawa keselamatan hanya ilmu agama. Muncul dikotomi dan pelajaran pesantren
dan madrasah, anak generasi Islam semakin jauh dari kemajuan ilmu pengetahuan.
Pesantren dan madrasah tidak mengenal Matematika, tidak mengenal Bahasa
Inggris.
Barulah setelah organisasi kemasyarakatan
Islam bergerak dalam bidang pendidikan, dan dakwah ummat mulai bergeliat ummat
Islam semakin menyadari akan ketertinggalannya. Barulah setelah kemerdekaan dan
SKB 3 Menteri pesantren dan madrasah menyesuaikan kurikulum pendidikan umum dan
agama sekaligus.
PAN Islamisme al Afghani dan pemikiran
sejumlah perubahan Islam, Rasyid Ridha, Muhammad Adduh menyuarakan pembaharuan
pemikiran Islam. Islam dipandang jumud, telalu percaya pada tahayyul khurofat
dan lainnya. Solah pinti ijtihad tertutup, taqlid buta pada pendahulunya.
Inilah yang coba direbut oleh para mujahid.
Kesederhanaan, menerima apa adanya dan hanya
mementingkan kehidupan akhirat membuat ummat Islam mengalami kemundurun dalam
catatan sejarah pasca seorang bangsa barbar mongolia 1258 M ke kota kekuasaan
Bani Abbasyiah mengalami kemunduran, serta merta seluruh wilayah Islam juga
semakin melemah, masa kejayaan Islam jatuh, disampil faktor eksternal dan
internal tidak terlepas dari pelemahan penembangan pengetahuan dan filsafat
disisi lain, walau ada satu kerajaan Islam yang masih dapat eksis yakni Turki
Usmani hingga abad ke 17.
Demikian halnya Indonesia juga adalah bangsa
yang sangat mudah berkembang hal-hal bersifat tahayyul dan khurafat sebagian
lagi fanatis keagamaan yang tanpa pengembangan intelektual menjadi sasaran
empuk penjajah, seperti apa yang pernah di ungkap oleh Dr Snouck Hurgronje seorang
orientalis “biarkan umat Islam dalam ponatis keagamaan, namun jangan biarkan
mereka berpolitik, mengembangkan perekonomian dan yang lainnya bersif
keduniawian” ini adalah sebuah stetmen yang memandang Islam Indonesi adalah
Islam fanatis, sehingga diberi kebebasan beribadah namun dibatasi pada hal-hal
keduniaan.
Sebelum lahirnya SKB 3 Mentri tahun 1975 ada
perbedaan yang mendasar antara lulusan dari madrasah dengan lulusan dari
sekolah umum[3].
Perbedaan ini antara lain ada dua yaitu:
1.
Kesempatan
untuk melanjutkan studi
Lulusan
madrasah tidak memiliki kesempatan untuk memasuki universitas negeri, mereka
hanya bisa melanjutkan keperuruan tinggi agama seperti IAIN, atau perguruan
tinggi swasta
2.
Kesempatan
kerja
Lulusan
madrasah hanya memiliki kesempatan kerja terbatas didalam lingkungan Kementrian
Agama atau lembaga-lembaga keagamaan
Dalam
keterangan lain disampaikan oleh Haidar Putra Daulay, adapun penyebab madrasah
tidak memiliki kesetaraan dengan sekolah dalam hal melanjutkan studi disebabkan
karena madrasah pada saat itu menitikberatkan kepada pengajaran ilmu agama, dan
sedikit mata pelajaran umum.[4]
Inilah sasaran dakwah dan pendidikan Islam
Indonesia, Muhammadiyah, NU, Alwashliyah, persatuan Indonesia dan PAN islam
Indonesia untuk merubah cara pandang umat Islam untuk bangkit dan berkembang.Pengarauh gnosisme terhadap pendidikan islam
adalah tidak diajarkannya ilmu-ilmu umum dimadrasah, namun pelajarn umum
dipelajarai setelah adanya pebaharuan pendidikan Islam. Di Indonesia
alwashliyah merupakan pengalihan dari gnosisme pda masa pembaharuan pendidikan
Islam di Indonesia.
C. Kesimpulan
Adapun
perkembangan pemikiran pendidikan Islam di Indonesia sebelum Skb 3 Menteri dapat
dilihat dari kesempatan untuk melanjutkan
studi. Lulusan madrasah tidak memiliki kesempatan untuk
memasuki universitas negeri, mereka hanya bisa melanjutkan keperguruan tinggi
agama seperti IAIN, atau perguruan tinggi swasta. Selanjutnya, kesempatan kerja
lulusan madrasah hanya memiliki kesempatan kerja terbatas didalam lingkungan
Kementrian Agama atau lembaga-lembaga keagamaandiluncurkan sebagai pengaruh atas pergolakan pemikiran dalam bidang
gnosisme.
Di
Indonesia, pengaruh gnosisme bisa dilihat melalui maraknya lembaga-lembaga
tarekat. Lembaga tarekat ini terdapat sampa ke pelosok pedesaan, pengaruh ini
berdampak pada lembaga yang didirikan oleh indibidu, juga ada yang didirikan
leh organisasi seperti organisasi Muhammadiyah, NU, dan al-Wasliyah. Di
Indonesia, al-Washliyah dikatakan sebagai pengalihan dari gnosisme.
DAFTAR PUSTAKA
Dja`far Siddik dan
Ja`far, Jejak Langkah Intelektual Islam ( Medan:Penerbit IAIN Press,
2010)
Fazlurrahman, Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1992), h. 227-228.
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam
di Asia Tenggara (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
Haidar Putra Daulay, Sejarah Peertumbuhan dan
Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2014)
[1]Dja`far Siddik dan Ja`far, Jejak
Langkah Intelektual Islam (Medan:Penerbit IAIN Press, 2010), h. 62
[2]Fazlurrahman, Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1992), h. 227-228.
[3]Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam
di Asia Tenggara (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 18.
[4]Haidar Putra Daulay, Sejarah Peertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2014), h. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar